Bapak ( Pak’e) adalah pahlawan saya. Bapak yang mengajarkan saya disipilin, tanggung jawab dan
percaya diri. Salah satu ajaran beliau yang saya ingat dan saya gunakan hingga kini, “ Jika sedang berbicara dengan orang lain, jangan menunduk, tatap
mata lawan bicara. Karena jika menunduk berarti tidak percaya diri bahkan
dianggap tidak menghargai”. Nasihat tersebut disampaikan menjelang
keberangkatan saya ke lomba Matematika tingkat propinsi di Semarang, SMP kelas
2. Itu memang pertama kalinya saya ikut lomba hingga propinsi, biasanya hanya
berhenti sampai tingkat kabupaten.
Bapak tidak galak, namun tegas dan disiplin. Bapak
memberikan kepercayaan penuh kepada saya untuk memilih. Ketika lulus SMP beliau
pernah menyampaikan agar saya meneruskan SPK (Sekolah Perawat Kesehatan). Nyatanya
ketika saya mendaftar ke SMU Negeri, beliau tetap mengiyakan. Pun ketika lulus
SMU saya sudah terdaftar di Akbid (akademi kebidanan) Semarang, sekali lagi
Bapak tidak melarang saat saya memilih kuliah di Jogja. Dan raut muka sumringah tak bisa disembunyikan hari
itu, saat menghadiri wisuda sarjana saya di Graha Sabha Pramana. Alhamdulillah
salah satu kebanggaan yang bisa saya berikan, saat itu.
Ketika kemudian saya bekerja, adalah kebiasaan saya pulang
tiap akhir pecan, Jumat malam. Bapak dengan setia menunggu hingga lewat jam 21.00
malam. Tidak ada yang istimewa ketika saya sampai rumah dan mendapati Bapak
sudah tertidur di depan TV. Ketika
menyadari saya sudah masuk pintu depan dan langsung mengunci pintu, ‘sudah
pulang ?’ begitu ucap Bapak sembari mengangkat bantal dan berjalan ke dalam
kamar, melanjutkan tidur.
Ritual Bapak-menunggu-saya-pulang-Jumat-malam, menjadi
sangat dirindukan saat saya,kami sekeluarga kehilangan beliau. Bapak meninggal
25 November 2005 setelah dirawat di Rumah Sakit hampir 2 minggu . Tahun
tersebut adalah tahun pertama saya mendapat uang gaji bulanan. Tahun pertama
saya mendapat THR jelang Idul Fitri meskipun masih proporsional karena belum
genap setahun bekerja. Uang THR itulah yang sebagiannya saya belikan sarung dan
celana panjang untuk Bapak. Tepat 1
Syawal Bapak memilih mengenakan sarung baru dari saya untuk sholat di Masjid.
Selanjutnya siang hari berganti dengan celana baru pemberian saya pula, saat
akan keliling silaturahim. Kata ibu, tumben Bapak memakai sarung dan celana
baru, biasanya beliau akan mengenakan sesuatu yang baru bukan pada idul fitri hari pertama. Aah saya jadi bangga,
betapa Bapak menghargai pemberian anak bungsunya yang tak seberapa.
Seminggu pasca Idul Fitri saat kerjaan kantor semakin padat,
keluarga di rumah memberi kabar Bapak sakit. Saat itu hari Kamis siang dan saya
berencana pulang pada Sabtu sore karena ada acara kantor di Sabtu pagi. Namun seorang
teman mengingatkan saya untuk mendahulukan orang tua, karena pekerjaan bisa
digantikan.
Sepuluh hari di Rumah Sakit, Bapak dipanggil Allah Jumat , 25
November menjelang tengah malam. Kami ikhlaskan kepergian Bapak, meski rindu
teramat sangat hingga kini tetap ada di hati. Hingga bulan ke tiga setelah
kepergian Bapak , saya masih meneteskan air mata betapa menyesal belum banyak
yang bisa saya berikan untuk Bapak. Hingga kini pun, ingin sekali mengenalkan
Keenan, balita saya ke beliau. Bahwa dia punya Mbah Kakung yang luar biasa.
Sayang untuk Bapak.
Aahhh kangen mbah kakung, nangis bacanyaa
ReplyDelete