Ibu (saya memanggilnya Mak’e) , merupakan perempuan dengan label ibu rumah tangga tulen. Bapak
adalah pencari nafkah utama,sedang ibu adalah pengelola rumah tangga dan mendampingi kehidupan kami, lima orang anak.
Bapak dinas di Bek-Ang, bukan level perwira namun alhamdulillah tidak membuat kami hidup kekurangan. Secukupnya saja, namun masih bisa piknik tiap hari Minggu.
Iya hampir tiap Minggu pagi Bapak akan mengajak saya dan kakak laki-laki saya ke peternakan sapi dekat rumah kemudian pulang membawa sebotol susu sapi mentah dan sepotong besar daging sapi, atau kami akan pergi ke Taman Kyai Langgeng, berenang, atau kami akan ke Candi Borobudur, atau kami akan ke Candi Mendut.
Bapak dinas di Bek-Ang, bukan level perwira namun alhamdulillah tidak membuat kami hidup kekurangan. Secukupnya saja, namun masih bisa piknik tiap hari Minggu.
Iya hampir tiap Minggu pagi Bapak akan mengajak saya dan kakak laki-laki saya ke peternakan sapi dekat rumah kemudian pulang membawa sebotol susu sapi mentah dan sepotong besar daging sapi, atau kami akan pergi ke Taman Kyai Langgeng, berenang, atau kami akan ke Candi Borobudur, atau kami akan ke Candi Mendut.
Ibu sedemikian pintar mengatur
keuangan keluarga dengan gaji pensiun Bapak yang hanya lima digit namun mampu menyekolahkan 3 dari 5 anaknya hingga
sarjana. Jika saya mengenang masa itu, saya namakan ' masa hidup sederhana'. Padahal saat dulu
menjalani, biasa saja.
Biasa saja jika uang saku sekolah saya selama seminggu hanya cukup untuk jajan di kantin sekolah satu kali saja, lepas pelajaran olah raga.
Biasa saja ketika momen beli baju baru 2 potong hanya menjelang idul
fitri.
Biasa saja jika setiap hari menu makan hanya tahu,tempe, dan sebutir telur bagi empat. Menu mewah seperti sate atau ayam goreng hanya hadir sebulan sekali
tepat di hari Bapak gajian.
Toh saya tetap bergembira ikut eskul pencak silat, kemah 3 hari di pantai Ayah, mendaki gunung Lawu, touring ke Ketep sampai Boyolali.
Toh saya tetap bergembira ikut eskul pencak silat, kemah 3 hari di pantai Ayah, mendaki gunung Lawu, touring ke Ketep sampai Boyolali.
Tak pernah saya dengar Ibu mengeluh tentang apapun. Hingga kini, saat tinggal sendiri di rumah besar, ibu menikmatinya sebagai cerita hidup. Ketika beliau merasa tidak enak badan, lebih memilih berdiam di rumah dan memanggil tukang pijat, ketimbang berkeluh kesah kepada kakak yang tinggal beda rumah.
Bapak pun sangat menghargai Ibu.Saya pernah dimarahi Bapak gara-gara protes sayur sop keasinan.Kata Bapak, wajar puasa, dan beliau tetap lahap menghabiskan semangkok sop dan tempe goreng tepung yang sudah dingin.
Sungguh indah kisah Bapak Ibu yang benar meng-Aamiin-i ' rumahku surgaku.
Cita-cita Ibu yang belum kesampaian, ke Tanah Suci.
Bismillah sehat terus ya, Bu,
semoga segera di ijabahi.
Aamiin.
Comments
Post a Comment