Pindah rumah, pindah kos, packing seru. Saya nikmati semua
proses adaptasi lingkungan baru. Tapi
tidak untuk sesi pindah kali itu. Saya harus memilih melanjutkan karir (yang sepertinya akan gemilang) di ibukota
tercinta Jakarta atau pindah ke kota kelahiran calon suami yang tidak mudah
bukan? Pada saat usia sudah terbilang
matang untuk menikah namun panggilan egoisme hati untuk meraih
mimpi, passion serupa batu yang menahan langkah saya.
Jika saya tetap tinggal di Jakarta peluang untuk menjadi perempuan
berdaya dari sisi materi dan kepuasan ragawi dengan segala macam fasilitas akan
terpenuhi. Menikah ? Entah ada di porsi keberapa.
Jika saya memilih mengikuti keinginan sang calon suami, maka
saya harus rela bersepi-sepi di kota pesisir pantai utara menyaksikan orang memegang canting dan
menarikannya di atas sehelai kain panjang.
Tidak akan ada waktu kunjungan ke aneka pameran megah di JCC atau Kemayoran . Tidak ada lagi
jalan-jalan menelusuri kota tua dan duduk termenung di pojokan museum. Tidak
ada lagi agenda bangun pagi-terburu-buru- hari Ahad , demi mendapat shaf depan
di Masjid Sunda Kelapa. Tidak ada lagi…
“Bunda, aku bangun pagi !” Terdengar suara lelaki kecil dari arah belakang. Saya membalikkan badan
dan memeluknya. “Keenan pintar, Bunda selesaikan cuci piring, setelah itu Keenan mandi ya. Mumpung masih pagi, air
masih nyala kenceng dan segar.”
Kesibukan saya enam tahun terakhir adalah pagi sebelum
shubuh, menyiapkan sarapan untuk
keluarga dan perlengkapan sekolah anak. Iya, saya memilih mengikuti saran calon suami untuk pindah ke
kotanya. Dengan segala konsekuensi.
Iya,pindah kantor mengakibatkan pendapatan saya berkurang
separuh. Kaget awalnya, kemudian beradaptasi. Segala hal terjustifikasi dengan sendirinya,
tidak mudah, namun dijalani saja dengan riang. Apalagi ada pangeran kecil yang
celotehnya semakin menggemaskan.
Nikmati saja J
Comments
Post a Comment