SERIAL JANU
DAN SUKMA
Genre Fiksi
Tidak ada gambarku dalam IG mu
Sebuah pesan whatsapp masuk bersamaan dengan alarm tanda sholat
subuh berdering. Jika tinggal di rumah, ada masjid berjarak limapuluh meter yang suara muadzinnya
cukup untuk membuat mata dan kuping bergerak-gerak. Aku memilih segera berwudhu
dan mendirikan solat daripada membalas pesan yang hanya akan memperlama
bertahan di tempat tidur. Waktu subuh pendek.
Dalam tengadah tangan ini , terselip doa untuk ibunda tercinta dan juga seorang perempuan
agar mau bersabar, menungguku.
Tidak adil! Itu komentar beberapa kawan, tentang obsesi mengejar beasiswa dengan mengabaikan
perasaan perempuan yang sudah sedemikian lama menunggu. Menyuruhnya untuk
bersabar.
Aku tidak memaksanya menunggu. Seperti halnya beberapa
perempuan lain yang bertanya tentang ke jombloanku, aku jawab, I’m single nor
jomblo. Agak sulit menjelaskan memang. Perempuan itu telah bersemayam di pojok
relung hatiku sejak pertama bertemu, sejak awal masa kuliah. Persahabatan
kami begitu indah. Tak
pernah terucap secara lisan, karena aku khawatir akan berefek luka padaku,
padanya , pada persahabatan kami dan sahabat lain. Sudah banyak contohnya. Sangat mudah menjadikan sahabat menjadi
kekasih, namun tidak pernah mudah sebaliknya.
Sampai kemudian upacara wisuda menjadikan jurang pemisah
kami. Rasa itu masih kusimpan rapi, sampai 5 tahun kemudian dia
mempertanyakannya, saat aku minta ditemani ke Rinjani. Masa itu sudah ada nama lain yang bertengger
di barisan depan otak kananku. Perempuan mungil
serupa adikku yang rajin mengirim sarapan setiap pagi ke depan kamar kos.
Rindu ini tak pernah padam kepadamu, tidak aku pelihara
namun nyalanya alami, abadi. Celakanya aku belum siap dan belum berani
menyatakan secara lugas. Perempuan butuh kepastian, begitu teman lain
menasehati. Aku tidak pernah menyuruhnya menunggu, aku hanya bilang ingin
sekolah dulu, yang lain kemudian. Tentu tidak kuceritakan, kenapa aku
sedemikian terobsesi dengan sekolah ke luarnegeri. Ini adalah janjiku, nazarku
yang terucap pada Ibu saat beliau
terbaring sakit. “Janu akan sekolah tinggi baru mencari perempuan
seperti Ibu untuk menjadi pendamping.” Ibu tersenyum dan mengangguk. Jika ini akan mengecewakanmu, setidaknya aku
tidak megecewakan Ibuku.
Cita-cita itu sedang aku jalani sekarang, bertahanlah
setahun lagi, doaku dalam setiap sholat. Tidak pernah aku nyatakan langsung.
Seandainya dia tahu.
personal IG of PJW |
Hari ini aku ke
Tanjung Aan bersama teman-teman. Kelak jika kau kesini lagi, kita berdua
kesana ya..
WA kesekian yang jarang kubalas, meski sangat ingin.
Jika engkau disini
akan kuajak menikmati sore cerah di Sidney Darling Harbour atau nonton konser
Adele di ANZ Stadium.
Yang inipun hanya menjadi draft di hati.
Aku berharap dia bersabar menata rindu hingga nanti kami
jumpa. Namun disaat bersamaan aku tidak
ingin memberinya banyak harapan. Semoga waktu dan kesempatan berpihak pada
kami.
*
Sudah 30 menit Sukma
mondar-mandir dalam kamar. Pakaian sudah rapi dengan terusan panjang di padu celana gelap.
Kerudung pink bertengger menutupi kepala. Sebuah topi rajut lebar berbunga
merah sudah sedari tadi dipegangnya. Berkali-kali di tengoknya scroll
percakapan beberapa grup WA. Sekalinya menengok
personal message pada Janu, belum ada balasan. Sudah jelas
terbaca 20 menit lalu. Sejak kuliah disana, Janu semakin jarang merespon pesan-pesan
pribadinya. Namun jika di grup alumni, dia tetap ramai seperti biasa.
Rindu ini perih, gumamnya .
Diletakkan handphone dalam laci. Sukma memilih membawa
kamera lomo kedalam tas ranselnya.
Comments
Post a Comment