Benarkah Kenakalan Remaja itu, Genetis ?
Penulis : imangsimple
Suatu hari Bapak membawa bayi laki-laki
berpipi chubby dari rumah keluarga di pesisir selatan Jawa Timur. Dean Prilia,
nama yang disematkan pada bayi berkulit putih itu. Orang tuanya sudah lama
berpisah. Ibu Dean memilih berkelana menjadi pekerja di luar negeri, sedangkan
sang Ayah enggan merawat anak yang belum genap berumur setahun. Jadilah
kehadiran Dean melengkapi keramaian keluarga kami.
Nuri, adikku, terlihat kurang menyukai kehadiran Dean.
Mungkin karena perhatian Bapak dan Ibu mulai terbagi setelah kehadiran lelaki
kecil bermata bulat itu. Diumur yang belum genap enam tahun, Nuri menjadi murid
termuda. Rengekan manjanya membuat Ibu sering
menemani Nuri melewati setahun pertama Sekolah Dasar. Tentu saja sembari membawa serta Dean yang baru belajar
melangkahkan kaki-kaki kecilnya.
Dean tumbuh menjadi anak yang lucu dan
aktif. Setiap lebaran
datang, kami sekeluarga pulang ke Pacitan untuk bersilaturahim dengan
keluarga Bapak sekaligus memberi kesempatan Dean bertemu orang tuanya.
Terpikir jikalau orang tua Dean ingin merawat anaknya sendiri. Nyatanya, setiap
kali kami kembali ke Magelang, kembali pula Dean kami ajak serta. Ayah Dean
sama sekali tidak tergerak untuk mendidik
sendiri buah hatinya. Hanya berjanji akan mengirim uang setiap bulan untuk
biaya sekolah Dean. Sementara sang Ibu, entah sedang berada dimana, cukup sulit
dihubungi.
Usia 4 tahun, Dean divonis terkena flek
paru-paru. Selama hampir 9 bulan Ibu bersusah payah setiap hari memaksa Dean
meminum obat racikan dokter. Raungan tangisnya sering terdengar nelangsa. Tugasku
memegang erat tangan Dean saat Ibu
menuangkan sesendok obat ke dalam mulutnya. Sampai di suatu masa, atas saran seorang kerabat, diperoleh informasi
bahwa salah satu obat penyembuh flek paru-paru adalah meminum lendir siput
darat. Bapak terlihat enggan menuruti
nasehat tersebut. Biarlah menuruti resep dokter saja. Hingga suatu sore Dean
pulang ke rumah, lepas bermain, membawa siput darat dan meminta ibu
mengolahnya. Aku saja jijik melihat makhluk bercangkang itu. Lain dengan Ibu
yang sabar menuruti kemauan Dean. Setelah itu , hampir setiap hari Dean dengan
gagah membawa pulang obat tradisional tersebut.
Bisa jadi karena memang sudah waktunya, 9 bulan
terlewati, Dean dinyatakan sembuh dari
flek paru-paru. Alhamdulillah , sumringah wajah Bapak dan Ibu saat dokter
menyatakan Dean tak perlu meminum obat lagi.
Prestasi Dean di sekolah tidak terlalu bagus. Anak
bandel , itu cap dari guru sekolahnya. Tidak seperti aku dan Nuri yang dahulu
kala di Sekolah Dasar selalu mendapat
rangking 10 besar, Dean justru sebaliknya. Sepuluh besar terakhir! Puncaknya di
kelas 3 SD, dia dinyatakan tidak naik kelas. Duaar! Anak pak tentara tidak naik kelas! Bapak marah saat mendengar
berita tersebut. Beliau baru saja menyandarkan badan usai pulang kerja saat Ibu
menyerahkan rapot Dean yang terbakar. Wajah lelahnya yang dibalur keringat tampak semakin berkilat.
Aku sendiri tidak merasa berbeda dalam
memperlakukan Nuri atau Dean. Mereka adalah adik-adikku yang manis. Begitu pula Bapak dan
Ibu. Justru aku merasa Dean sedemikian dimanja karena semua keinginan seperti
mainan atau makanan selalu dipenuhi. Alasan Bapak, karena uangnya berasal dari
Ayah Dean. Aku pernah marah atas hal tersebut. Tidak adil!.
Suatu hari Ibu mendapat surat panggilan dari
Kepala Sekolah Dasar Sukorejo III. Dahi Ibu berkerut membaca undangan dalam
amplop coklat panjang. Sebenarnya cukup sering Ibu diundang wali kelas karena
kenakalan atau perkembangan kemampuan belajar Dean yang kurang optimal. Kasus pertama, Dean sering tertidur
pada jam sekolah. Saat ditanya guru, dia beralasan mengantuk karena lapar,
tidak sarapan. Mendengar cerita itu, alarm kewarasanku berdering , tidak pantas
Dean bermuslihat seperti itu. Jelas-jelas setiap pagi kami berlima sarapan di
meja yang sama. Ada yang konslet dengan otak anak itu.
Namun kali ini Kepala Sekolah yang memanggil.
Bagi Ibu ini berbeda, pasti ada sesuatu yang lebih dahsyat. Aku baru pulang
dari latihan voli saat menemukan Ibu menangis di kamar. Bapak pulang tak lama
setelah kusodorkan segelas teh hangat untuk Ibu.
“Dean ketahuan meminum miras oplosan di
bengkel dekat pasar.” Cerita Ibu terbata-bata sambil memegang erat tangan
Bapak. Wajah Bapak memerah. Rahangnya
mengembang menahan amarah. Aku usap punggung Bapak untuk menurunkan emosi. Tidak
lama aku memilih keluar kamar dan menutup pintu. Kusingkirkan sabuk kopel yang
biasa digantung di ruang salat. Sepatu lars kusimpan di dapur. Aku bersegera keluar
rumah mencari Dean. Kalau memang Bapak akan menghajar Dean, biarlah
dilakukan di rumah. Bapak pernah memarahi Dean di rental PS karena tertangkap
merokok. Bapak menyeretnya pulang. Para tetangga miris melihatnya.
Sedemikian sayang Bapak pada Dean, namun di saat
yang
bersamaan Bapak bisa sedemikian murka atas kesalahan fatal Dean.
Kini, di usianya yang baru 12 tahun, Dean sudah coba-coba minum
cairan haram.
pic:produsenbajubayi |
Esok harinya aku menemani Bapak menuju sekolah.
Akibat kejadian tersebut, Kepala Sekolah menyatakan akan mengeluarkan Dean. Bapak
memohon maaf atas kesalahan Dean dan memohon kebijakan agar diberi kesempatan untuk tetap belajar di sekolah. Bapak lebih banyak
menunduk saat Kepala Sekolah banyak memberi penjelasan.
“Begitu dia lulus, akan saya kembalikan kepada
orang tuanya. Saya sudah tidak sanggup.” Lirih suara Bapak
mengakhiri pertemuan sambil menjabat erat tangan Kepala Sekolah.
Sejak itu Bapak menjadi jauh lebih pendiam.
Senyum semakin jarang menghiasi raut kerasnya. Aku sering memergoki mata Ibu berkaca-kaca. Betapa
aku sebagai anak sulung berusaha memahami perasaan Bapak dan Ibu. Kami sekeluarga kesulitan mengerti bagaimana
Dean bisa menjadi pribadi yang berbeda dengan kami. Meskipun aku sendiri belum
bisa setiap hari istiqomah mengaji dan Nuri masih sering bolos TPQ, setidaknya
kami tidak pernah se-ka-li-pun membuat malu orang tua sampai harus di panggil
Kepala Sekolah. Dean bukan anak angkat di keluargaku. Walaupun bukan adik
kandungku, dia tetaplah adik sepupuku, yang
dirawat Bapak dan Ibu setulus hati. Bibitnya tidak bagus, begitu
saya dengar selentingan dari kerabat. Faktor Genetis. Sang Ayah ..bla…bla…bla…
Sang Ibu …bla..bla..bla…. Nyeri telinga menusuk hati mendengar suara negatif tentang Dean.
Setahun berlalu, rumah kami berenergi
kembali. Tidak ada lagi raungan sepeda motor racikan anak 12 tahun, yang
membuat telinga berdenging. Orang tua macam mana, yang mengirimkan sepeda motor
baru untuk anak belia, saat nilai sekolahnya jauh dari bagus. Sang Ibu pernah
menelpon Bapak, marah-marah karena dianggap tidak mampu merawat Dean.
Masya Allah! Rasanya ingin membalas
perkataan itu dengan kalimat lebih sadis mengenai ketidakpedulian dan
ketidakhadirannya sebagai ibu. Alhamdulillah semua itu hanya bersarang di
pikiranku saja. Berhenti di tenggorokan. Tidak terucap.
Bapak pun sudah jauh lebih sabar, tidak
ditanggapi omongan tersebut. Hidup kami normal kembali.
Hingga lebaran lalu, lepas Ashar hari kedua,
Bapak pulang piket membawa seorang anak lelaki berambut pirang. Tingginya sama
dengan Bapak. Kulitnya kecoklatan efek dari terik matahari. What ?
Dean ? Maka keriuhan berkumpul dengan sanak saudara seketika berubah
menjadi kegelisahan. Dean seolah menjadi tersangka. Kami duduk melingkar,
mendengar penuturannya. Dengan suara serak dia bercerita bahwa sang Ayah sudah
seminggu tidak mengajaknya bicara paska dia pulang pagi menonton sepak bola di
Kediri. Dean memilih melakukan
perjalanan 10 jam menggunakan bus dan kereta api dari Pacitan. Uangnya habis
saat tiba di stasiun Lempuyangan Yogyakarta. Dean menelpon Bapak minta
dijemput. Seandainya Bapak abaikan permintaan tersebut, mungkin sekarang dia
sudah menggelandang.
Aku berinisiatif menelpon Paklik Wawan,
ayah Dean, bersandiwara menanyakan kabar
anaknya. Suara di seberang menyatakan bahwa Dean sudah tidak pulang 2
hari. Ini bukan kali pertama. Paklik tidak berniat mencari. Dean sering pergi
tanpa pamit. Nanti kalau uangnya habis, pasti pulang, itu alasan Paklik. Tidak
terdengar nada khawatir dalam suaranya. Aku
bungkam, tidak menyatakan bahwa Dean ada di rumah Magelang.
Dean ingin kembali sekolah di Magelang saja,
tidak sanggup tinggal satu rumah dengan Ayah dan Ibu tirinya. Bekas lebam kutemukan di lengan dan kaki. Ibu
mendesah panjang dan terus beristighfar. Keputusan yang tidak mudah.
Beliau memilih memanjangkan doa dalam
sujud di sepertiga malam terakhir.
Aku berharap ada keajaiban dalam karakter
Dean. Fisiknya tumbuh menjulang selayak
orang dewasa. Namun mentalnya belum bisa bertanggung jawab. Mungkin lingkungan
pondok pesantren salah satu pilihan yang
bisa menangkis dari pengaruh teman yang
buruk. Perlu orang khusus untuk
membantu mengarahkan energi millenialnya yang membludak. Aku berharap belum
sangat terlambat untuk membelokkan pola pikirnya ke jalan yang benar.
Comments
Post a Comment