Sejak tiga bulan terakhir saya mulai rajin browsing usia berapa yang tepat untuk mengkhitankan anak. Tak satupun saya menemukan rekomendasi pilihan usia yang tepat. Lebih pada kesiapan anak dan orang tua, simpul saya.
Semenjak lama, saya memang merencanakan mengkhitankan anak pertama sebelum masuk sekolah dasar. Pertimbangan saya sederhana, kids jaman now semakin cepat proses baligh-nya. Jika dahulu usia baligh kisaran usia 12 tahunan atau kelas 6 SD. Sekarang sudah banyak anak perempuan maupun laki-laki mengalami proses balighnya pada usia 9-10 tahun.
Gayung pun bersambut saat Keenan yang masih berusia tiga tahun bertanya apa itu khitan karena menonton tayangan Upin Ipin. “Supaya tidak gatal, itu dipotong sedikit.” Ketika usia dua tahun Keenan memang kadang merasa gatal entah karena digigit semut atau bermain tanah. Tidak parah sih, hanya rewel sesaat.
Ternyata benar bahwa tontonan televisi tersebut sangat membekas di pikirannya. Karena seringnya diputar ulang, saya cukup sering mengingatkan, bahwa sebelum SD dia akan dikhitan. Warning juga kepada saya, kita sebagai orangtua, untuk selalu mendampingi anak saat melihat tayangan televisi, karena bagi anak, semua yang dilihat langsung diserap100% tanpa saringan. Maka menjadi teramat bahayanya jika sampai terpapar PORNOGRAFI.
Libur panjang pasca lebaran inilah waktu yang saya rencanakan. Suami sempat sedikit ragu. Karena usianya yang masih enam tahun dan sebenarnya dia belum paham apa itu khitan. Lebih pastinya sesakit apa DI-KHITAN. Saya sampaikan ke suami justru momen dia belum- tahu- apa-apa itu yang dimanfaatkan. Sebelum dicekoki cerita macam-macam oleh teman-temannya.
“Kalau Keenan puasanya pinter, banyak magribnya, nanti dapat hadiah.” ucap si Ayah.
“Tobot Tritan!” seru Keenan girang, membayangkan mainan impiannya. Si Ayah mengangguk, sambil sibuk browsing berapa harganya.
“Trus habis lebaran kan libur panjang, sebelum masuk SD. Keenan mau khitan di rumah atau ke klinik dokter?” saya mulai menginisiasi rencana khitan sejak menjelang ramadan.
“Klinik dokter aja, Bun. Kalau di rumah nanti nunggunya lama. Lagian aku malu kalau nangisnya keras. Kalau di dokter nanti kan dideri permen, jadi pas khitan ga sakit, kayak di Upin Ipin. Tahu-tahu udah selesai, ga kerasa.” Katanya sambil senyum. “Tapi beliin mobil remote ya, Bun.”
Saya iyain sajalah.
Dan emang dasar rejekinya. Segala apa yang dia ucapkan-demi khitan-kok yang terkabul. Tiba-tiba pertengahan ramadan dibelikan mobil remote sama budhe setelah diajak bukber di Dafam Hotel. Dapat janji di belikan tas dan sandal dari budhe yang lain. Sepatu hitam memang sudah disiapkan ayah dari kapan bulan. Well done! Semua upeti sudah tersedia hahaha. Sebenarnya sih semua hal yang dibelikan tersebut memang bertepatan dengan momen lebaran dan tahun ajaran baru sekolah. Jadi yaaa…pas aja. Insyaallah tidak mubazir.
Dokter khitan yang saya pilih berpraktek dekat kantor. Jadilah saya dan suami konsultasi pada hari pertama kami berangkat kerja. Seperti apa proses khitan jaman sekarang, tentu jauh beda dengan jaman suami dulu. Khitan laser, begitu penjelasan dokter. Menggunakan alat semacam garputala dengan kawat besi. Menurut penjelasan dokter anak usia berapapun bisa dikhitan.
Sabtu, 23 Juni 2018 bertepatan dengan 9 Syawal 1438H, adalah hari yang terpilih untuk melaksanakan rencana besar tersebut. Sederhana saja,libur sekolahnya masih lama. Terus terang saya agak khawatir jika proses kesembuhan khitannya lama. Meski dokter menyatakan dalam empat hari biasanya luka sudah kering asal anak terjaga gerakan berlebihan seperti lari dan bersepeda.
Keenan ceria seperti biasa sampai tiba di klinik dokter tersebut. Begitu masuk ruangan. Naaah drama dimulai, tangannya mencengkeram lengan saya kuat sambil menangis. Rupanya yang membuat takut adalah peralatan dokter berupa jarum dan gunting. Perlu kesabaran ekstra untuk membujuknya.
“Nggak jadi? Mau pulang sekarang?” jurus negasi menegasikan saya lancarkan.
“Jadi, tapi sebentar dulu…” ucapnya dalam tangis. Baiklah rupanya dia sedang berusaha menenangkan dirinya sendiri. Antara lucu, sedih dan trenyuh melihat ekspresinya. Anak mbarep yang baru lebas balita itu begitu polos.
Kebetulan ada kelas 6 SD yang bersedia sunat lebih sahulu. Dari cerita sang ibu, dulu saat kelas 4 SD sempat datang ke klinik tersebut namun batal, karena si anak masih takut. Iya saya sudah sering mendengar beberapa cerita dari teman tentang tertundanya khitan seorang anak laki-laki dari karena takut.
Proses khitan itu sendiri relatif cepat. Sekitar 20-30 menit. Dan 30 menit kemudian bius sudah habis, jadi belum sampai rumah Keenan sudah merengek, hahaha. “Astaghfirullah sakit,huhah, Ya Allah sakit.” Setelah minum madu, makan siang dan minum obat sudah lebih tenang. Berkali kali minta air putih. Well part 1 sudah terlewati.
Drama selanjutnya adalah perkara ke kamar mandi. Setelah BAK beres, dia mulai gelisah tentang BAB. Maka segala teori dia kemukakan.
“Bunda nanti…"
“Bunda jangan.."
“Bunda pelan…"
Judulnya parno jika bagian tersebut tersentuh akan sakit. Senyatanya tidak semenakutkan itu. Benar kata dokter, empat hari kemudian, lukanya sudah hampir kering. Yess, akhirnya Keenan mau mandi (sebelumnya hanya seka, dan wudhu dengan tayamum hehe).
Oh ya, jaman sekarang ada celana sunat alias celana pelindung. SEmcam celana dalam dengan lapisan karet semi busa yang dijahit dibagian depan. Lebih dari seminggu Keenan nyaman memakainya. Walau luka sudah kering, bentuk sudah bagus, masih ada rasa takut jika terbentur akan terasa sakit. Padahaaaal, dia sudah mulai lari-lari main bola.
So, berikut tips mengkhitankan anak khususnya usia belia (sebelum SD):
1.Sampaikan kisah tentang khitan jauh-jauh bulan bahkan tahun. Sesuaikan dengan daya tangkap bahasa anak.
2. Jujurlah bahwa khitan itu sakit namun hanya sebentar. Setelah itu jadi anak pintar.
3. Beri hadiah (bila perlu) untuk mengapresiasi keberanian anak.
4. Siapkan mental orangtua untuk menangani drama pasca khitan.
5. Karena anak masih belia belum terkena kewajiban ibadah. Jadi sesekali kelewat shubuh, tak apa he he..
6.Syukuran pasca khitan? Kalau ini mah optional, tidak ada kewajiban mengumumkan prosesi khitan selayak kewajiban mengumumkan akad nikah.
Alasan terakhir kenapa saya beneran keukeuh mengkhitankan anak tahun ini, karena sedang hamil hahaha. Jika ditunda hingga tahun depan, khawatir sudah sibuk dengan tangisan bayi. Alasan ini mah kondisional sekali yaaaa..
Alhamdulillah, lega rasanya sudah mengantarkan anak menuju gerbang kedewasaan (tsaaah). Minggu depan beneran nganterin ke gerbang sekolah baru, SDIT Permata Hati.
Comments
Post a Comment