Skip to main content

Merencanakan Pendidikan Anak Sejak Dini, Perlukah ?


Semasa kuliah, saya beberapa kali menyempatkan main ke rumah kakak sepupu di perumahan Pertamina daerah Purwomartani. Letaknya dekat perempatan Tajem kesanaaa lagi. Iya, saya banci peta, paling enggak bisa nunjukin arah mata angin. Modalnya hanya lurus, belok kiri, belok kanan, nyebrang, kanan jalan, haha.

Kakak sepupu baru pindah dari Jakarta ke Jogja dalam rangka sang suami melanjutkan kuliah S2 di MM UGM. Mereka baru memiliki 2 anak perempuan. Suami dari kakak sepupu  tersebut merupakan  lulusan ASN berikatan dinas yang kemudian resign. Saya agak lupa apakah dia resign setelah menyelesaikan masa ikatan dinas atau membayar kompensasi. 

Kepindahan ke Jogja itu pun, sang suami juga baru resign dari sebuah grup usaha besar di Jakarta. Kok berani, ya? Saya terlalu polos untuk bertanya. Di kemudian hari, saya paham, bahwa hidup itu memiliki banyak pilihan, kesempatan dan tantangan. Apakah kita berani mengambil atau tidak. Setelah dua tahun kuliah di Jogja, tidak lama mereka pindah ke Sulawesi. Sang suami memperoleh  pekerjaan disana dari grup usaha yang sama sewaktu di Jakarta. Begitu seterusnya pindah ke Bali dan ke kota-kota lain, tentu dengan jabatan yang semakin meningkat. Bertahun kemudian mereka akhirnya kembali ke Jakarta dan menetap disana hingga kini. 

"Si sulung sekolah dimana?" tanya saya pada kakak sepupu dahulu kala yang kemudian dijawab di sekolah berbasis Islam di Jogjakarta. Saya tahu kalau sekolah yang disebutkan tersebut berbiaya tidak murah, dalam kacamata anak pensiunan macam saya yang selalu bersekolah di sekolah negeri.

"Aku perlu basic agama yang kuat untuk anak-anak. Minimal sampai usia sekolah dasar. Nanti setelah masuk jenjang menengah, baru ke sekolah umum (negeri)," begitu penjelasannya. Awal tahun 2000 penetrasi internet dengan dunia digitalnya belum semasif sekarang.

Dan benar saja, setelah keluarga ini pindah ke Jakarta dan saya sempat numpang hidup dua hari disana, anak kedua juga disekolahkan di sekolah berbasis Islam yang juga terkenal muahal, sedang si sulung sudah masuk sekolah umum. 

Maka dalam benak  perempuan semester 3 jurusan angka rumit seketika berazzam, "nanti kalau punya anak mau saya masukkan ke sekolah dengan basic agama yang kuat juga".  Alasannya sederhana, pergaulan anak masa kini perlu pondasi iman Islam yang tangguh. Alasan lainnya adalah ketakutan orangtua tak mampu memberikan pendidikan terbaik untuk anak.

Segaris dengan niat tersebut, karena saya tahu biaya sekolah "luar negeri" tidak murah, maka  ketika saya memutuskan berinvestasi pada reksadana, ada 3 jenis yang saya pilih. Melalui Mandiri Sekuritas, saya membeli 1 reksadana untuk investasi masa pensiun, 1 reksadana untuk dana pendidikan anak pertama, dan 1 reksadana untuk dana pendidikan anak kedua.

Bisa ya, menikah belum, punya calon belum, sudah punya tabungan masa depan. That's me! Selalu punya plan A, plan B dan seterusnya. Jadi kepentok pintu utara, belok pintu barat, begitu seterusnya. Meski kadang nyaris terjebak juga pada overthinking-alias ketakutan atau kekhawatiran berlebihan atas sesuai hal yang belum (tentu) terjadi.

Sehingga ketika kemudian memutuskan mengakhiri masa bersenang-senang, jalan-jalan kesana-kemari sebagai penghuni ibukota dan memilih  ngikut tinggal di kampung halaman suamik, kemana  tabungan reksadana saya? Berubah jadi landasan helipad!

Nah kebiasaan merencanakan keuangan  itu berlanjut. Semasa brojolan anak pertama saya sudah mulai hunting sekolah, daycare, bahkan tempat les buat anak. Kaum mendang-mending please jangan melongo. Segitunya ya, saya? Wajib, kenapa? Saya merantau di kota orang. Cuma punya suami seorang, tak ada saudara (kandung) lain. Tak punya asisten rumah tangga. Yang berarti semua harus dilakukan sendiri, dipikirkan sendiri. Suami kemana? Sibuk nimbun diecast!

Merencanakan pendidikan anak sejak dini, perlukah?

Bagi saya sangat perlu. Alih-alih masalah biaya pendidikan yang memang harus disiapkan, pendidikan semasa saya dahulu tidak bisa disamakan dengan masa kini. Dunia berubah sangat cepat, kita harus ikut berlari kalau tak mau tergilas nanti.  Maksudnya mempersiapkan anak-anak kita mampu menjalani dunia-nya kelak dengan bekal iman dan ilmu yang memadai karena tantangan masa depan jauh berbeda dengan masa kini. Pandemi memaksa masa depan datang lebih cepat.

Tidak ada sekolah khusus menjadi orangtua. Namun disisi lain setiap orangtua menginginkan  yang terbaik untuk anak. Pun terselip rasa takut jika kita-orangtua- tidak bisa menjadi contoh baik bagi anak. Basic agama itu yang jadi acuan saya sejak awal. Jika landasan berpikir dan habit islami sudah terbangun sejak dini, insyaallah jadi filter dari derasnya godaan tikungan dikemudian hari. Seserem itu? Iya! Coba perhatikan berita  kenakalan remaja, pergaulan bebas dan lainnya.  Apakah dahulu tidak ada? Ada! Namun intensitasnya tidak sederas saat ini. Internet membuat semua jadi dekat atau sebaliknya. Semakin bertambah usia anak, semakin sedikit waktu orang tua untuk mendampinginya. Tidak lagi 24 jam seperti saat mereka masih berusia hitungan bulan.

Memilihkan lingkungan terbaik untuk anak

Sebuah yayasan pendidikan yang memiliki jenjang KBIT  (Kelompok Bermain Islam Terpadu), TKIT (Taman Kanan-kanak Islam Terpadu), SDIT ( Sekolah Dasar Islam Terpadu) dan sekarang bertambah dengan SDTQ (Sekolah Dasar Tahfidzul Quran), menjadi pilihan saya untuk memberikan lingkungan pendidikan terbaik untuk anak-anak. Saya sadari sepenuhnya bahwa kami selaku orangtua memiliki keterbatasan ilmu baik ilmu agama maupun ilmu general untuk melahirkan generasi Qurani, cerdas dan mandiri.

Berlebihan? Sama sekali tidak bagi saya. Cita-cita saya sederhana kok, awalnya. Bahwa di usia 10 tahun-menjelang akil baligh-, anak sudah mampu menghafal Al Quran juz 30 dan membaca Al Quran dengan tartil. Tentu tidak lupa dengan kewajiban sholat dan adab-adab islami lainnya. Pembentukan karakter sejak dini saya yakini akan menjadi benteng buat anak hingga kelak saat dewasa dapat membuat keputusan dan bertanggungjawab dengan benar. Dewasa adalah masa dimana kita-orangtua- sudah tidak bisa sepenuhnya mengatur apa yang akan dilakukan anak. 

Manusia berencana, ikhtiar jalan terus

Maret 2020, saat pandemi merebak si sulung baru saja menyelesaikan hafalan juz 30. Seharusnya  akhir semester genap sudah bisa mengikuti sidang tashih tahfidz. Keenan baru kelas 2 saat itu. Terpaksa sekolah daring yang jauh dari efektif untuk anak usia 8 tahun. Hari-hari berlalu dengan banyak tantangan dan teriakan emak-emak yang kelelahan dengan pekerjaan kantor sekaligus menemani belajar  bocah SD sembari menggendong bayi. Duuh drama sekali masa itu.

Namun tetap ada bagian yang saya syukuri. Secara bertahap sekolah menfasilitasi sekolah daring yang awal nya hanya seminggu sekali dan kolosal per level (4 kelas bersamaan), kemudian menjadi setiap hari dan per kelas. Intensitas belajar sudah hampir mirip dengan sekolah luring. Pun Kementerian Pendidikan  mensubsidi kuota internet yang cukup membantu sekolah daring tiap hari. 

Maret 2021,  alhamdulillah Keenan lulus sidang tashih tahfidz juz 30 secara daring. Lega sekali rasanya. Target tercapai ☺. Enam bulan kemudian Keenan juga lulus sidang tashih qiroaty. Tugas selesai? Tentu belum. Selanjutnya ada harapan-harapan dan target baru. Sejak awal masuk SDIT, sudah disampaikan target hafalan angkatan 2018 adalah 3 juz.
Maka ketika 30 Oktober 2022 lalu Keenan kembali lulus untuk sidang tashih tahfidz juz 29, saya terharu. Sudah hafal 2 juz di usia 11 tahun, bagi saya luar biasa, karena emaknya 1 juz juga belum genap. Alhamdulillah tiada henti untuk kesabaran Keenan mendengar omelan emaknya untuk selalu murajaah 😏

Pernah mendengar sesebapak bicara di timeline, apa gunanya menghafal banyak jika tidak tahu artinya? Saya yang ngajinya masih disini-sini saja percaya, bahwa semua hal berproses. Saya yakin kebiasaan baik akan berbuah manis. Insya Allah. Tidak ada yang sia-sia dari mencintai Al Quran.








Comments

  1. Hidup memang enggak boleh takut ngambil keputusan.

    ReplyDelete
  2. baca ini jadi merasa punya temen hahahah aku juga gtu mbak kondisi sekarang masih single tapi lagi usaha nyiapin ini dan itu. kadang kalo lagi ngobrol sama temen sampe mereka geleng-geleng dan dikata lebay 🤣 bodo amat sih yang penting aku hidup tenang hihi

    ReplyDelete
  3. ada temannya hehe.. dan itu berguna sangat :-)

    ReplyDelete

Post a Comment

popular post

Jadi Bapak Rumah Tangga, Kenapa Tidak ?

Serba-serbi Kurikulum 2013 (K13)

Kapan Waktu Terbaik Mengajarkan Anak Naik Sepeda?