Skip to main content

Posts

Merencanakan Pendidikan Anak Sejak Dini, Perlukah ?

Semasa kuliah, saya beberapa kali menyempatkan main ke rumah kakak sepupu di perumahan Pertamina daerah Purwomartani. Letaknya dekat perempatan Tajem kesanaaa lagi. Iya, saya banci peta, paling enggak bisa nunjukin arah mata angin. Modalnya hanya lurus, belok kiri, belok kanan, nyebrang, kanan jalan, haha. Kakak sepupu baru pindah dari Jakarta ke Jogja dalam rangka sang suami melanjutkan kuliah S2 di MM UGM. Mereka baru memiliki 2 anak perempuan. Suami dari kakak sepupu  tersebut merupakan  lulusan ASN berikatan dinas yang kemudian resign . Saya agak lupa apakah dia resign setelah menyelesaikan masa ikatan dinas atau membayar kompensasi.  Kepindahan ke Jogja itu pun, sang suami juga baru resign dari sebuah grup usaha besar di Jakarta. Kok berani, ya? Saya terlalu polos untuk bertanya. Di kemudian hari, saya paham, bahwa hidup itu memiliki banyak pilihan, kesempatan dan tantangan. Apakah kita berani mengambil atau tidak. Setelah dua tahun kuliah di Jogja, tidak lama mere...

Hidup Nyaman Bersama Polytron

Sadarkah kamu jika polusi udara di kota-kota besar di Indonesia sudah dalam tingkat polusi yang memprihatinkan? Berdasar Rangking Negara Indeks kualitas udara (AQI), Indonesia masuk urutan ke 17 dari 118 negara yang memiliki kualitas udara terburuk. “TV nya mati lagi, Bun!” Balita berkaos kuning itu  meletakkan remote TV dengan kasar. Mulut lancipnya bisa dikuncir. Saya menoleh ke layar televisi. Gelap. Namun masih ada suara Upin-Ipin terdengar.  Iya, ini kesekian kalinya benda ajaib yang mampu menyihir balita super aktif  itu mau anteng menonton serial dari negara sebelah, meski sudah diulang puluhan kali. Andra hafal setiap adegan hinga tiap percakapan. Dan tidak bosan, begitulah anak-anak. Konon  hal itu dikasebabkan, daya ingat pendek. Sehingga sekalipun sebuah kisah atau tayangan diputar berulang, emosi dan pengalaman yang didapat, tetap seolah menjadi yang  pertama. Televisi yang menempel di dinding itu memang sudah berusia lebih dari 10 tahun. Awet ya ? A...

Cedera Tulang pada Anak

  Setelah meeting berjilid-jilid, hari Jumat adalah waktu yang tepat untuk selonjoran sejenak. Apalagi payday kan? Tetiba pukul 09.30 mendapat telepon dari guru sekolah si kecil. Bad feeling nih. Karena sudah dua kali kejadian begini, biasanya karena emergency . Kejadian pertama sepekan masuk.sekolah, si bocah menangis tiada henti. Yang pertama karena tas sekolah ditarik-tarik temannya sampai talinya rusak, dan yang kedua pusing karena flu. Keduanya tidak membuat saya memutuskan pulang lebih cepat. Saya hafal, Andra yang baru masuk KBIT (Kelompok Bermain Islam Terpadu) Juli lalu bukan tipe anak yang  nangis guling-guling. Nangisnya, ya cuma mewek-sesenggukan. Sejauh itu, amaan. Jadi ada kejadian apalagi ini, sehingga sejam sebelum bel pulang, Ustadzah musti bersegera menelepon.  “Bu, maaf, tadi Andra lari-lari lompat naik turun meja kecil, kemudian jatuh dan menangis. Katanya tangan kanan sakit. Sudah saya minta minum dulu, Andra minum pakai tangan ...

Membaca Kebaruan

 Tiga pekan sudah Andra mulai mulai bersekolah formal, meski masih jenjang Pendidikan Usia Dini (PaUD) atau Kelompok Bermain KB). Usianya baru 3, 5 tahun Juli lalu, untuk langsung masuk jenjang Taman Kanak- kanak belum diperbolehkan.  Dan seperti namanya, Kelompok Bermain, maka setiap hari anak-anak selayaknya bermain bersama teman-teman. Bedanya mereka memakai seragam. Permainannya pun beragam dan memiliki tujuan spesifik untuk merangsang motorik halus dan motorik kasar. Apa itu? Entah, saya juga tak terlampau paham, setidaknya selama tiga pekan berlalu, Andra nampak gembira setiap berangkat ke sekolah. Mau tahu alasannya? 1. Sepatu baru Sepanjang hidupnya yang belum genap empat tahun, inilah pertama kalinya dia dibelikan sepatu. Iya sepatu, yang kanan-kiri-depan-belakang full tertutup. Selama ini paling poool, sepatu sandal. Bangga dia, nampak seperti anak besar. 2. Tas baru Bagian paling semangat ini, tas sekolah yang digendong kemana-mana. Tas punggung bergambar dinosaurus...

Konsisten Menghukum

Siang kemarin saya menelpon Keen dan dia menjawab sumringah. " Aku lulus Al Mursalat, Bun!" alih-alih bilang agak lemas karena berangkat - pulang naik sepeda ke sekolah, padahal sedang puasa. "Alhamdulillah", jawab saya. Dalam hati saya tahu kenapa dia begitu bersemangat saat bisa menyelesaikan surat terakhir yang harus dia hafal pada juz 29. Handphone . Iya, lebih dari dua pekan ini, Keen tidak saya perkenankan pegang handphone yang biasa dia pakai. Baik untuk  texting whatsApp, telepon apalagi nge-game. Kenapa? Ini adalah kesekian kali Keen saya hukum tidak boleh main game. Kali ini malah totally tidak pegang handphone . Handphone tetap di tempat semula, di meja depan televisi. Namun saya locked . Saya memang tipe emak-emak yang konsisten kalau menghukum anak. Tentu saja bukan hukuman fisik. Walau kadang kalau sedang gemez parah, tetap aja itu kuping saya jewer keras kalau dibangunin shubuh susah. Handphone seharga 1,5 juta itu saya beli dua  tahun lalu untuk k...